Usut Tuntas Maraknya Atribut Israel Di Papua

05-16-09.59.36

Operasi Politik Israel

Kenapa simbol Bintang Daud yang dipajang dan bendera Israel yang dikibarkan? Kenapa bukan salib atau lambang GIDI yang dijajarkan di sepanjang jalan?

Screenshot_2016-05-17-11-34-26_1

Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq, mengatakan kehadiran sejumlah orang yang berkewarganegaraan Israel dan munculnya simbol-simbol Israel di Tolikara, Papua, bukan hal yang kebetulan.

Motifnya pun menurutnya bukan penyebaran agama karena Yahudi adalah agama eksklusif.

“Adanya orang yang berkewarganegaraan Israel di tanah Papua dan munculnya simbol-simbol Israel, seperti yang banyak tersebar di media sosial di Tolikara bukan kebetulan. Ini juga tidak ada hubungannya dengan penyebaran agama, karena agama Yahudi sangat eksklusif,” ujar Mahfudz.

Mahfud menenggarai, bahwa orang-orang Israel ini digunakan untuk menjalankan satu operasi politik di Papua secara keseluruhan. Untuk itu dirinya meminta aparat keamanan untuk mengusut tuntas kehadiran mereka di Papua.

“Sangat mungkin ada pihak lain yang menggunakan orang-orang ini untuk jalankan operasi politik di Papua. Jadi bukan hanya Tolikara. Pemerintah melalui Polri, BIN, TNI dan Kemenlu harus mengusut tuntas kehadiran orang berpaspor Israel ini,” tambahnya.

Screenshot_2016-05-16-09-46-58_1

Kasus Tolikara menurut Mahfudz bisa dilihat kecil kalau dipisahkan dari konteks Papua. Namun menurutnya kasus ini juga bisa menjadi serius jika ditempatkan dalam kontrks Papua, khususnya gerakan separatisme.

“Mereka membutuhkan pemantik. Dan harus diingat Papua tidak hanya bagian dari kepentingan Indonesia, tapi juga kepentingan beberapa negara lain. Pemerintah telah diberi lampu kuning dan sirine nyaring tentang penyelesaian tuntas isu papua melalui kasus Tolikara,” tandasnya.

Sebelumnya, tersebar foto-foto di sosial media tentang keberadaan mobil dengan cat bendera Israel di Tolikara. Hal ini pun menjadi ramai diperbicangkan apa kepentingan Israel di Papua, dan bagaimana mungkin orang-orang Israel bisa masuk ke Indonesia meski selama ini Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel.

GIDI sebagai Misionaris

GIDIRupanya, Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) berada di balik maraknya bendera Israel tersebut. GIDI menginstruksikan warga Tolikara untuk mengecat rumah dan kiosnya dengan bendera Israel. Jika tidak mau, warga dikenakan denda Rp 500 ribu.

“Kami didenda Rp 500 ribu jika tidak cat kios, itu kami punya kios,” kata Agil Paweloi, seorang pedagang asal Bone seperti dikutip Republika, Jum’at (24/7/2015).

Pria berusia 34 tahun yang kini berada di pengungsian itu menuturkan pengecatan ruko, rumah, dan trotoar jalan diwajibkan dengan warna biru dan putih. GIDI berdalih, pengecatan itu dalam rangka menyambut kedatangan pendeta dari Israel.

image

Benjamin Berger. ( tjcii.org)

Berdasarkan spanduk yang ada di halaman kantor Pusat GIDI di Jayapura, acara seminar KKR Internasional GIDI pada 15 Juli-19 Juli di Kabupaten Tolikara dihadiri pendeta Benjamin Berger dari Israel.

Tidak hanya pemeluk Kristen, warga Muslim dan seluruh warga Tolikara juga diwajibkan mengecat rumah dengan simbol atau bendera Israel.

“Saya ikut cat saja daripada harus bayar Rp 500 ribu,” tutur Agil.

GIDI bentukan dari Kristen Evangelis
Ada benang merah yang nyata antara GIDI (Gereja Injili Di Indonesia) yang menganjurkan penampilan simbol Zionis Yahudi Bintang Daud jauh hari sebelum mereka melakukan penyerangan kepada ummat Islam ketika melakukan sholat Idul Fitrri 1436H tanggal 17 Juli 2015 di Karubaga Tolikara. Berbagai komunitas masyarakat Tolikara membenarkan bahwa GIDI akan mengenakan sanksi denda Rp.500 ribu untuk setiap rumah jika rumahnya tidak dicat biru putih dengan lambang Zionis Yahudi Bintang Daud. Menurut para pengurus GIDI, mereka melakukan gerakan penampilan lambang Zionis Yahudi Bintang Daud adalah untuk menghormati secara khusus seorang pendeta utusan dari Israel Benjamin Bergeryang hadir para acara seminar KKR Pemuda GIDI tingkat Internasional pada tanggal 13-19 Juli 2015 di Karubaga Tolikara. Selanjutnya benang merah itu berlanjut kepada seorang Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai yang sangat membela GIDI sebagai pelanggar HAM dengan mengatakan bahwa pengecatan ruko, rumah dan trotoar dengan lambang Zionis Yahudi Bintang Daud adalah sebagai keinginan pribadi warga disana. Selanjutnya Natalius Pigai mengatakan: “banyak penganut Kristen di Papua memang mendambakan lambang bintang Daud untuk mengenang Yesus kristus, karena Yesus selalu diagungkan sebagai keturunan dari Raja Daud”.

Dari pernyataan Natalius Pigai ini, kita bisa menilai siapa sebenarnya dibelakang dirinya selama ini. Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) terbentuk dari Kristen Amerika yang dikenal dengan gerakan Kristen Evangelis yang lebih fundamentalis dan radikal dibandingkan dengan pecahan kelompok gereja lainnya. Kristen Evangelis ini sangat mendukung gerakan Zionis Yahudi yang lebih dikenal dengan Gerakan Kristen Zionis. Makanya pada setiap ada acara besar yang dilaksanakan oleh GIDI, selalu ada pemunculan berbagai lambang-lambang dan bendera Zionis Yahudi bintang Daud.

05-16-09.45.34

Adanya pengibaran bendera atau lambang-lambang dari Negara asing tanpa izin, apalagi Negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik seperti bendera Israel, serta mengabaikan bendera Merah Putih sebagai lambang Negara Indonesia, adalah merupakan penodaan kepada Negara Republik Indonesia serta penodaan kepada bangsa Indonesia. Pengibaran dan pemunculan berbagai bendera dan lambang Israel oleh mayoritas warga di Tolikara, seharusnya ada pelarangan oleh Pemerintah Daerah serta aparat Kepolisian RI setempat harus menindaknya. Pemerintah pusat harus mengangkat kasus ini dan meminta pertanggungan jawab kepada Pemerintah Daerah di Tolikara. Hal ini sangat jelas sudah menodai bangsa dan Negara Indonesia yang dilakukan oleh sekelompok orang terkait GIDI di Tolikara.

05-16-09.50.38

Kelompok gerakan Injili masuk ke Indonesia sejak tahun 1950-an dari Amerika Serikat dan Eropa. Oleh kelompok Injili di Inggris mengirimkan para misionaris mereka untuk melayani beberapa gereja dan lembaga Kristen di Indonesia melalui Overseas Missionary Fellowship (OMF). Tokoh Kristen Evangelis Pat Robertson (2013) pernah mengatakan bahwa Islam bukanlah agama (Huffington Post). Dikatakan oleh Pat Robertson, “Setiap kali kalian lihat orang-orang yang marah itu, kelihatannya sifat kesetanannya yang mendorong mereka untuk membunuh dan melukai dan menghancurkan, serta meledakkan dirinya sendiri,” kata Robertson tentang Islam. “Itu sebuah agama kekacauan.”

Bagi kita ummat Islam, kita bisa menilai betapa bodohnya tokoh Kristen Evangelis Pat Robertson ini yang hanya menilai Islam dari kejadian yang bersifat kasuistis dan inilah upaya mereka untuk menimbulkan Islamophobia dunia. Kita kaitkan dengan kasus Tolikara adanya palarangan Sholat Idul Fitri dan pelarangan memakai Jilbab bagi muslimat serta pembakaran pemukiman dan masjid adalah sebagai kepatuhan kepada Pat Robertson yang dungu itu.

Perang Salib Kristen

image

Paul Golding saat menggerakkan massa. (Inilah.Com)

Apalagi Paul Golding dari Britain First, aktivis Evangelis serta para kelompoknya sering menyerang sejumlah masjid di Inggris serta membagi-bagikan Bibel kepada ummat Islam dan menurut mereka sebagai bagian awal dari kampanye “Perang Salib Kristen” dijalan-jalan kota Inggris. Adanya pernyataan yang disampaikan oleh PGLII Ronny Mandang bahwa semua korban dalam kerusuhan Tolikara adalah jemaat Gereja Injili Di Indonesia (GIDI). Artinya jemaat GIDI-lah yang menyerang serta melempari ummat Islam yang sedang melaksanakan sholat Idul Fitri dan mereka akhirnya berhadapan dengan aparat keamanan yaitu Kepolisian RI karena mereka juga menyerang dan melempari aparat Kepolisian serta melakukan pembakaran itu. Seperti inikah Perang Salib Kristen yang dikumandangkan Paul Golding yang diterapkan Kristen Evangelis GIDI di Tolikara Papua ?

Semua rakyat Indonesia sangat berharap agar penegakan hukum yang dijalankan di Karubaga Tolikara benar-benar sebuah penegakan hukum yang adil sebagaimana janji Presiden Jokowi serta janji para petinggi GIDI dan Pemda setempat. 

“Saya jamin, hukum akan ditegakkan setegak-tegaknya, bukan hanya untuk pelaku kriminal di lapangan tetapi juga semua pihak yang terbukti mencederai kedamaian di Papua”.”Masalah ini harus diselesaikan secepatnya agar ke depan tidak terjadi lagi kekerasan di Tanah Papua,” Kata Presiden Jokowi.

Adanya upaya kuat untuk hanya memunculkan tokoh rekayasa atau tokoh palsu yang dibayar dalam kasus Tolikara, sangat jelas terlihat dan kami mengharapkan pihak Kepolisian RI jangan terpengaruh atas permainan kotor ketidak adilan penegakan hukum di Indonesia.

Kita sebagai warga Negara Indonesia yang baik, ingin mengingatkan kepada Pemerintah Pusat terutama kepada BIN agar lebih cermat serta mampu menjalankan pengawasannya serta pengintaiannya sampai kepada seluruh Pemerintahan Daerah agar mampu mengetahui secara mendalam tentang berbagai kegiatan kemasyarakatan yang berkaitan dengan agama. Apakah mereka sebagai agama yang hanya ditunggangi oleh kekuatan sebuah ideologi asing yang kuat, sehingga suatu saat agama yang mereka tunggangi itu dijadikan sebagai alat untuk melakukan perpecahan atau politik adu domba agar NKRI ini kedepan menjadi runtuh.

image

Hidayat Nur Wahid. (JPNN.COM)

Sebelumnya, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid juga menyoroti tentang banyaknya bendera Israel di Tolikara.

“Berdasar informasi yang didapat Tim Pencari Fakta Komat, ditemukan ada gambar bendera Israel di Tolikara,” kata Hidayat seperti dikutip Dream.co, Kamis (23/7/2015).

Politisi PKS itu pun meminta BIN, TNI dan Polri untuk menyelidiki lebih lanjut.

Peraturan Daerah Yang Aneh

Bupati Tolikara, Usman Wanimbo, mengatakan memang ada peraturan daerah (Perda) yang menyatakan hanya kelompok Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) yang boleh membangun tempat ibadah di wilayah Kabupaten Tolikara, Papua. Ia menerangkan bahwa perda tersebut sudah disahkan oleh DPRD sejak tahun 2013.

“Memang ada Perda yang menyatakan itu, bahwa di sini asal mula terbentuknya GIDI. Sehingga masyarakat berpikir untuk aliran gereja lain tidak bisa membangun tempat ibadah di sini. Hanya itu saja, aliran lain tidak boleh bangun,” kata Usman Wanimbo, Selasa 21 Januari 2015.

Menurutnya, dengan adanya Perda tersebut masyarakat mau tidak mau harus terima. Terlebih kelompok GIDI termasuk komunitas gereja yang besar di Tolikara, Papua.

“Jadi apakah ada rancangan khusus atau bagaimana. Musala memang dari dulu ada. Tapi sampai hari ini belum dieksekusi dalam bentuk peraturan Bupati. Masjid juga dilarang dibangun dalam Perda itu,” katanya.

Ia juga menyadari bahwa ada tuntutan dari masyarakat yang menginginkan bahwa tidak boleh ada aliran lain yang diperbolehkan masuk ke wilayah tersebut. Perda tersebut juga merupakan hasil rapat usulan gereja GIDI di wilayah Tolikara. “Kalau pada prinsipnya, Musala boleh ada karena sudah terbakar. Perda itu tidak pernah dicoret, karena sudah disahkan,” ujarnya.

Mendagri Minta Perda Dicabut

Sementara itu Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta Perda tersebut ditinjau kembali. Alasannya pemerintah telah memberi kebebasan untuk beragama dan beribadah sesuai keyakinan masing-masing.

“Coba di DPRD ditinjau kembali. Kalau satu agama saja tidak boleh, apalagi kalau beda. Saya minta untuk dilihat dulu arsipnya, ada tidak perda itu,” kata Tjahjo.

Tak hanya itu, Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Dirjen Kesbangpol) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Soedarmo juga menerangkan bahwa mekanisme pengesahan Perda tersebut harusnya mendapat persetujuan dari Mendagri. Menurutnya jika belum ada belum adas persetujuan dari Mendagri makan perda tersebut belum sah. “Harusnya tidak bisa diberlakukan kalau belum disahkan. Kan harus dipikirkan secara komprehensif,” katanya.

Soedarmo menegaskan bahwa di Indonesia tidak menganut kekhususan. Indonesia adalah negara kesatuan, yang artinya membolehkan seluruh pemeluk agama untuk melaksanakan agama sesuai keyakinan masing-masing.

“Kalau ada kondisi eksklusivitas di sini itu bisa menimbulkan resistensi dari agama-agama lain. Jadi mohon pemda dan legislatif bisa kembali membahas perda itu. Karena kan belum disahkan Mendagri juga,” katanya.

Disengaja oleh Bupati

Sementara, Ketua Aliansi Pergerakan Masyarakat Peduli Pembangunan Kabupaten Tolikara (APMPPKT) Rahmat Kogoya, mengungkapkan bahwa Bupati Usman Wanimbo adalah Ketua Panitia Pelaksana Seminar dan Kongres Pemuda GIdI di Tolikara.

Rahmat mengaku pernah pernah melaporkan kasus korupsi Bupati Tolikara atas penyelewengan dana-dana untuk Desa/Kampung ke pihak KPK maupun Kejati Papua.

Dalam keterangan tertulisnya kepada Pribuminews, kemarin, Rahmat mengaku, bukti kasus korupsi Bupati sudah disampaikannya ke mana-mana, tapi sampai saat ini belum ada tanggapan dari pihak yang berwenang. Bahkan pihaknya malah dituding diboncengi kepentingan politik saat melakukan aksi demo pada setiap kesempatan.

“Jadi wajar kalau saat ini masyarakat Tolikara sudah muak dengan kinerja aparat penegak hukum. Korupsi sampai Rp 635 miliar yang didukung dengan alat bukti serta keterangan saksi sampai saat ini enggak tuntas-tuntas,” keluh Rahmat Kogoya.

Rahmat pun menduga kuat bahwa Bupati Tolikara sengaja menciptakan konflik di Tolikara guna menghindari proses hukum yang menantinya.

“Insiden 17 Juli kemarin hanya ulah oknum yang telah dipersiapkan oleh Bupati Tolikara. Mereka memanfaatkan masyarakat kampung yang masih primitif dan terisolir sehingga yang sejak lahir hingga tua masih tetap di Tolikara mereka tidak pernah tahu dunia luar Tolikara itu seperti apa, pentingnya menjaga toleransi antar umat beragama itu bertujuan untuk apa, karena yang mereka tahu bahwa Negara Indonesia itu hanya Papua dan Tolikara,” tutur Rahmat Kogoya.

Rahmat juga mengaku bahkan telah menyerahkan alat bukti di kantor pusat BIN bulan Februari lalu. 

“Jadi kalau mau melihat insiden 17 juli kemarin jangan dilihat sepenggal-sepenggal, tapi kamilah saksi sekaligus korban yang berada di daerah. Ini karena ada pembiaran atas kesewenang-wenangan, karena ada pembiaran maka tingkah Bupati Tolikara semakin ngelunjak. Ibarat anak sekolah tiap tahun akan naik kelas, ada Negara di dalam Negara,” tandasnya.

Isi Surat GIDI

Surat GIDI (Gereja Injili Di Indonesia) berisi hal pemberitahuan tertanggal 11 Juli 2015 Nomor: 90/SP/GIDI-WT/VII/2015 yang ditujukan kepada ummat Islam se-Kabupaten Tolikara di Karubaga mengandung berbagai pendapat hukum serta konsekwensi hukum. Sebelum terjadi peristiwa pembakaran rumah kios dan masjid Baitul Muttaqin (bukan musholla), sudah beredar pada kalangan ummat Islam di Karubaga-Tolikara dan foto surat inilah yang beredar dibeberapa media mainstream dan medsos lainnya termasuk pada beberapa tulisan di Kompasiana ini tanpa ada rekayasa sedikitpun. Walaupun kebenaran itu telah tersajikan di publik secara meluas, ada saja berbagai kalangan dan pihak yang berupaya untuk menutupinya, mengaburkannya dalam memanipulasi pemberitaan dengan cara mengatakan, bahwa surat GIDI itu palsu, surat GIDI itu tidak melalui mekanisasi struktural keorganisasian dan lain sebagainya. Pokoknya surat asli GIDI di Tolikara yang kontroversial dan intoleransi itu akan direkayasa dan digoreng menjadi surat yang tidak bertuan dan bisa diharapkan paksa menjadi surat yang paling palsu sedunia yang pernah terjadi. Ini adalah cara-cara kotor yang sudah sering terpola budaya pada kelompok tertentu tersebut untuk menutupi berbagai kebusukan serta kesalahan mereka dengan cara apologetika.

Memperhatikan seluruh kalimat dalam surat tersebut, memang akan mengundang berbagai konsekuensi pertanggungan jawab hukum. Surat yang disebar secara resmi oleh GIDI ini, diutamakan ditujukan kepada ummat Islam se-Kabupaten Tolikara di Karubaga, disamping itu telah pula ditembuskan kepada Pemerintah Daerah setempat yaitu:

  • Bupati Kabupaten Tolikara,
  • Ketua DPRD Kabupaten Tolikara, dan
  • Polres Tolikara, Danramil Tolikara.

Inilah isi dari surat pemberitahuan GIDI yang Intoleransi adalah:

  1. Mereka akan melakukan seminar KKR Pemuda GIDI tingkat Internasional pada tanggal 13-19 Juli 2015.
  2. Pimpinan GIDI Wilayah Toli membatalkan dan menunda semua kegiatan yang mengundang ummat besar dari tingkat jemaat lokal dan klasis dari berbagai Yayasan atau lembaga-lembaga lain.

Atas dasar butir 2) ini, GIDI memberitahukan bahwa:

  • GIDI tidak mengijinkan pelaksanaan acara sholat Idul Fitri 1436 H pada tanggal 17 Juli 2015 diseluruh wilayah Kabupaten Tolikara (Karubaga).
  • Ummat Islam boleh melaksanakan Sholat Idul Fitri dan merayakan lebaran diluar Kabupaten Tolikara (Wamena) atau di Jayapura.
  • Dilarang kaum muslimat memakai pakaian Jilbab.

Wewenang pelarangan hanya ada pada UU, PP, Kepres, Kepmen, Perpu, Pergub, Perda dan dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yaitu Kepolisian RI dan minimal Pemerintah Daerah. Organisasi agama dan organisasi lainnya, tidak diperkenankan untuk melakukan pelarangan apapun tanpa ada dasar hukumnya. Inilah bentuk intoleransi dan arogansi kelompok yang telah dipamerkan oleh GIDI tanpa memperhatikan ketentuan yang berlaku resmi di NKRI. Pernah ada cuatan yang mengatakan surat GIDI itu telah didasari sebuah Perda dan kenyataannya Menteri Dalam Negeri Cahyo Kumolo menegaskan bahwa Perda yang dimaksud belum sama sekali mendapatkan persetujuan dari Kemendagri artinya Perda tersebut tidak sah diberlakukan di Kabupaten Tolikara. Dalam hal ini, Pemda setempat harus dikenai sanksi atas diberlakukannya secara sepihak Perda yang tidak syah tersebut dan berdampak bagi kerugian HAM dan materi dari sebagian masyarakat tertentu warga Negara Indonesia.

Kasus yang telah terjadi di Karubaga-Tolikara senyatanya dan sebenarnya adalah tidak bisa lepas dari isi surat GIDI tertanggal 11 Juli 2015 Nomor : 90/SP/GIDI-WT/VII/2015 itu dan ini telah dijadikan oleh aparat Kepolisian RI sebagai fakta serta alat bukti hukum. Penyelesaian secara keorganisasian dan sosial kemasyarakatan memang telah selesai dan berjalan dengan rasa persaudaraan yang kental lalu selanjutnya akan berlangsung proses perdamaian secara adat dan semua upaya ini sangat kita hargai. Untuk memperkuat posisi perdamaian yang berjangka panjang, kesalahan atas pelanggaran intoleransi dan kriminalisasi dalam peristiwa pembakaran itu, upaya tuntas penyelesaian hukumnya harus dijalankan oleh para aparat terkait didalam penegakan hukum Indonesia. Apalagi Presiden Jokowi telah mengutuk peristiwa itu dan janji Kepolisian RI untuk menuntaskan tanpa pandang bulu secara hukum yang berlaku atas kasus Karabuga-Tolikara. Kalau semua pihak selalu berteriak “Ini Negara Hukum” maka penyelesaian hukum atas pelanggaran dan kriminalnya harus terpisah dengan upaya perdamaian secara keorganisasian dan sosial kemasyarakatan serta adat. Karena kejahatan Intoleransi dan kriminal pembakaran yang telah berlangsung membekas didalam proses penyelesaian hukumnya hingga tuntas, selanjutnya telah menjadi torehan catatan sejarah kelam bagi keberlangsungan NKRI kedepan.

Memang akhir-akhir ini, setelah adanya upaya perdamaian di di Kecamatan Karubaga Kabupaten Tolikara dan terlihat seperti saling bermaaf-maafan, ada pihak dan kelompok tertentu ingin menutupi kesalahan fatal yang telah mereka lakukan secara kriminal di Karubaga-Tolikara dan ingin disatukan penyelesaian hukumnya dengan perdamaian secara adat. Mereka yang bersalah ingin menyelesaikan masalah non-hukum disatukan dengan masalah hukumnya dan ini jika terjadi adalah merupakan pelanggaran hukum serta pelanggaran keutuhan perdamaian yang sesungguhnya. Apabila hal ini yang terjadi, maka dipastikan peristiwa yang sama dan lebih parah akan terulang terjadi kembali dimasa yang akan datang.

Kejujuran dari kelompok pihak yang telah mengakui bersalah untuk menjalani proses hukum, adalah bagian yang sangat melekat erat dengan pola perdamaian jangka panjang yang telah dilakukan serta diharapkan semua pihak. Semua kita warga Indonesia, berhak untuk mengawasi dan memperhatikan secara seksama atas keseriusan penyelesaian hukum kasus Karubaga-Tolikara ini, sekaligus menjadi ukuran penilaian kita semua atas berjalannya penegakan hukum di Indonesia.

Ini Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bukan Negara Gereja Injili Indonesia

Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Soedarmo, membenarkan adanya peraturan daerah (perda) mengenai ketentuan beribadah bagi kelompok pemeluk agama di Kabupaten Tolikara, Papua. Perda tersebut bahkan telah dibahas dan disetujui dalam rapat pleno DPRD periode lama.

Hal itu diungkapkan Soedarmo ketika ditemui di kantor Kemendagri, Jalan Medan Merdeka Utara No. 7, Jakarta Pusat pada Rabu, 22 Juli 2015. Kendati begitu, perda yang mengatur ketentuan beribadah itu belum disahkan oleh pemerintah pusat.

“Perda itu baru (sampai di tingkat) pemerintah daerah. Belum disahkan, tetapi sudah dijadikan dasar oleh GIDI (Gereja Injili di Indonesia),” kata Soedarmo.

Perda itu kemudian diajukan oleh Presiden GIDI ke Bupati Tolikara. Dia menjelaskan, alasan perda itu diakomodir Bupati dan DPRD, karena Bupati Tolikara yang kini menjabat, Usman G. Wanimbo juga berasal dari organisasi GIDI.

“(Perda) itu belum (sampai) ke provinsi. Kemarin dalam rapat kami minta dicabut. Ini NKRI, bukan negara GIDI. Aceh saja yang daerah otonomi khusus (aturan) semua agama ada, hanya saja mereka menerapkan Syariat Islam,” kata Soedarmo.

Dia menegaskan perda tersebut baru sekadar rancangan. Oleh sebab itu baru akan dibawa ke tingkat provinsi. Namun, dari informasi yang dia terima, perda itu telah disahkan sejak tahun 2013.

“Makanya saya minta ke DPRD yang baru ini untuk mengevaluasi rancangan Perda itu,” dia menambahkan.

Soedarmo mendesak agar surat edaran larangan beribadah, mengenakan jilbab dan membangun tempat ibadah tersebut dicabut. Desakan itu, kata Soedarmo, tidak pernah disosialisasikan oleh Presiden GIDI kepada anggotanya.

Di dalam perda itu hanya kelompok Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) yang boleh membangun tempat ibadah di wilayah Kabupaten Tolikara, Papua. Agama lain tidak boleh membangun rumah ibadah.

Pelanggaran Kebebasan Beragama Meningkat

Direktur Eksekutif Setara Institute Hendardi mempertanyakan nawacita yang digagas Presiden Joko Widodo dalam hal kebebasan beragama dan berkeyakinan. Menurutnya, sampai saat ini belum ada bukti nyata implementasi nawacita tersebut.

“Ketika dilantik, memberikan janji di nawacita dan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) terhadap kebebasan beragama. Sampai saat ini belum ada bukti yang cukup nyata,” tutur Hendardi dalam Konferensi Pers Kebebasan Beragama di Jakarta, Senin 18 Januari 2016.

Bahkan permasalahan kebebasan beragama dan keyakinan belum menjadi perhatian para menteri Kabinet Kerja. Angka peristiwa dan tindakan pelanggaran kebebasan beragama pada tahun 2015 kemudian mengalami peningkatan.

“Selain telah gagal diterjemahkan dalam RPJMN 2015 juga gagal diterjemahkan menteri Kabinet Kerja. Itu sebagian penilaian dari kami,” tambahnya.

Hari ini Setara Institute merilis angka pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan pada tahun 2015 yang meningkat dibanding tahun sebelumnya. Pada tahun 2014 hanya ada 134 peristiwa pelanggaran di berbagai wilayah Indonesia namun tahun 2015 meningkat menjadi 197 peristiwa pelanggaran. Sementara tindakan pelanggaran pada tahun 2014 adalah 177 tindakan lalu meningkat menjadi 236 tindakan pada tahun 2015.

“Angka ini menunjukan kenaikan. Pada tahun 2014, jumlah peristiwa pelanggaran yang terjadi hanya 134 sedangkan tindakan pelanggaran cuma di angka 177 tindakan,” kata Peneliti Setara Institute, Halili Hasan dalam kesempatan yang sama.

Setara mencatat, pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan paling tinggi terjadi pada bulan Januari, Februari, Mei, Juni, dan Oktober. Sementara wilayah yang lebih sering menjadi lokasi pelanggaran kebebasan beragama masih tetap Jawa Barat. Provinsi ini dicatat menjadi daerah yang kurang ramah dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan selama sembilan tahun terakhir.

“Selama sembilan tahun, provinsi tersebut menjadi peristiwa yang paling tinggi dengan jumlah 44 poin. Kemudian, Aceh 34 poin, Jawa Timur 22 poin, DKI Jakarta 20 poin dan Daerah Istimewa Yogyakarta 10 poin,” katanya.

Seharusnya Hukuman Penjara 4 tahun, berlaku untuk penggunaan bendera “Israel” di Tolikara

Ada kepentingan apa Israel di kabupaten Tolikara? Harry Kurniawan, Sekjen SNH Advocacy Center, mengatakan bahwa segala bentuk penggunaan bendera dan lambang negara asing tanpa izin dan tanpa hak (baik pengibaran maupun pemasangan) merupakan tindakan pelanggaran hukum.

Tindakan penggunaan bendera dan lambang negara asing harus sesuai dan berpedoman kepada ketentuan UU No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan dan Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 1958 tentang Penggunaan Bendera Kebangsaan Asing. Tindakan penggunaan bendera dan lambang negara asing tanpa hak dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan penodaan terhadap bendera dan lambang negara Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 154a KUHP, kejahatan penodaan ini dapat dikenakan hukuman penjara selama 4 tahun.

Harry mempertanyakan, bagaimana mungkin bendera dan lambang negara Israel bisa dengan bebas digunakan oleh hampir seluruh warga Tolikara. Apakah tidak ada larangan dari pemerintah daerah. Bahkan berita yang mengemuka, penggunaan bendera dan lambang negara Israel tersebut diwajibkan bagi warga Tolikara. Mereka dikenakan denda apabila tidak mau atau menolak menggunakannya.

“Ini jelas-jelas menodai bendera dan lambang negara Indonesia”, tegas Harry.

Penggunaan bendera dan lambang negara Israel tanpa hak bukan hanya melanggar hukum, namun juga melanggar kewenangan absolut Pemerintah Pusat terkait urusan politik luar negeri yang diamanatkan Pasal 10 UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Tindakan tegas dari aparat penegak hukum dan Pemerintah Pusat harus segera diambil terkait dengan penggunaan bendera dan lambang negara Israel tersebut untuk menjaga kedaulatan NKRI. Pembiaran penggunaan bendera dan lambang negara “Israel” di Tolikara dapat menjadi pintu masuk Israel mewujudkan kepentingannya di negara Indonesia, yaitu memecah belah bangsa Indonesia.

“Israel punya kepentingan di Tolikara, tidak mungkin ada bendera kalau tidak ada kepentingan di sana”, pungkas Harry.

Pesawat Asing Datang Pergi Seenaknya
Semakin dikenali, kabupaten Tolikara semakin di jumpai keanehan. Pasalnya, kabupaten Tolikara merupakan bagian dari Provinsi Papua dengan luas sekitar 5.234 KM2.

Kemudian, seperti dilaporkan laman Hidayatullah (22/7/2015), Tolikara yang diapit Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Jawawijaya Kabupaten Sarmi dan Kabupaten Jayawijaya merupakan kabupaten baru hasil pemekaran pasca hadirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus.

Dan Kabupaten Tolikara yang beribukota di Karubaga terbagi dalam 514 Desa dan 35 Kecamatan. Meski demikian, jangan bayangkan desa di daerah layaknya di Jawa. Sebab, satu desa kadang hanya puluhan rumah.

Yang menarik, meski merupakan tempat terpencil dan akses masih sulit, beberapa pihak mengatakan, pesawat milik orang asing bisa datang dan pergi seenaknya.

Sebagai penunjang kegiatan perekonomian, di wilayah ini tersedia 1 bandar udara, yaitu Bandara Bokondini, namun beberapa saksi yang ditemui hidayatullah.com, banyak bandara khusus orang asing yang hilir mudik tidak bisa terpantau.

“Di sini banyak pesawat asing datang dan pergi tidak terpantau. Karena aparat di sini sedikit,” demikian ujar salah seorang aparat yang tak mau disebutkan namanya kepada hidayatullah.com.

Yang tidak kalah menarik, banyak bendera-bendera Israel jadi pajangan warga. Pantauan hidayatullah.com, mudah dijumpai kios-kios warga dihias mengikuti bendera Israel biru-putih bergambar Bintang David.

Kebetulan, saat beberapa jam menginjakkan kaki di Tolikara pertama kali hari Senin (21/07/2015) media ini bisa menyaksikan ramainya masyarakat luar Tolikara mengikuti arak-arakan penutupan kegiatan seminar dan KKR Pemuda GIDI tingkat internasional yang diselenggarakan sejak tanggal 13 Juli 2015.

Diperkirakan sekitar 7000 orang mengikuti arak-arakan, dan sebagian banyak mengibarkan bendera Israel. Sementara itu, banyak warga lokal sendiri masih kurang memahami arti bendera-bendera Israel tersebut.

BIN Diminta Selidiki Hubungan GIDI dengan Israel

Sekretaris Jenderal Pusat Advoaksi Hukum dan HAK Asasi Manusia (PAHAM) Rozaq Asyhari meminta aparat intelijen BIN turun tangan menyelidiki persoalan tersebut. Ini bertujuan agar kesimpangsiuran tidak semakin meluas.

05-16-09.32.21

“Di media sosial kan tersebar informasi bahwa kelompok pembakar masjid tersebut memiliki kerja sama dengan Israel. Oleh karenanya, BIN perlu melakukan penelusuran mengenai kemungkinan pengaruh atau keterlibatan Israel dalam persoalan ini,” kata Rozaq dalam keterangan tertulis yang diterima republika online.

05-16-09.34.57

Menurutnya, semua pihak harus turut berperan mengusut tuntas untuk mendapatkan akar permasalahan yang sebenarnya menjadi pemicu insiden yang menyerang umat Muslim ini. Penegakkan hukum harus dilakukan agar tidak mengesankan pembiaran.

Ia mengutuk keras penyerangan dan pembakaran yang terjadi di Distrik Karubaga tersebut. Tindakan tersebut dipandang sebagai bentuk teror terhadap ummat Islam yang sedang menjalankan ibadah.

Bendera Israel, Misionaris Asing, dan Tirani Mayoritas

05-16-09.15.28

Kondisi muslim umumnya di pedalaman Papua khususnya wilayah pegunungan (tidak hanya Tolikara) sama dengan daerah-daerah yang minoritas seperti hak untuk kenyamanan dan keamanan beragama.

Walau di ibukota Kabupaten diizinkan utk shalat dan mendirikan mesjid tapi itu butuh perjuangan. Akhirnya berdirilah ruang petak tanpa kubah dan tidak ada speaker keluar yang kami sebut mesjid.

Kadang tiap shalat dilempari batu mesjidnya. Di Kab. Lanny Jaya malah untuk shalat mesti masuk lorong atau celah 2 kios muslim, jadi kalau muslim yang baru datang ke sana tidak akan tahu dimana mesjidnya.

Tapi kalau di lokasi saya bekerja (Distrik Bokondini, Kab. Tolikara) masyarakatnya beda karakter lebih tenang beribadah karena mesjid berkubah, tanpa speaker (kita sadar minoritas), halaman luas dan punya pagar rapi. saya malah buka TPA di Bokondini, tidak dipermasalahkan warga.

Berawal dari acara konfrensi Internasional pemuda GIDI (Gereja Injili di Indonesia) yang mengedarkan surat tidak boleh pelaksanaan shalat Ied dan tidak boleh menggunakan jilbab. Tetapi sudah dilaporkan ke Pemda dan ada jaminan untuk keamanaan pelaksanaan kegiatan.

Namun pada kenyataannya ketika umat muslim tengah khusuk beribadah mereka justru diserang, dan perumahan yang ditinggalkan terbakar karena api meluas dengan sangat cepat.

Yang perlu jadi perhatian:

  1. Di banyak media, dikatakan Wapres JK bahwa konflik di Tolikara ini dipicu oleh speaker mesjid, bagusnya Bapak JK ke Tolikara dulu main-main. Coba deh cari plang mesjid, apakah ada bangunan berbentuk mesjid dengan kubah dan menaranya atau dipastikan beliau tidak akan pernah mendengar suara azan karena memang tidak ada speaker kecuali jika duduk manis di dalam mesjid mendengarkan azan langsung dari mulut muadzin.
  2. Pemerintah Pusat mestinya tegas adanya pembatasan dan aturan untuk warga asing masuk Indonesia, ini misionaris bebas saja masuk Papua dengan pesawat-pesawatnya, entah misi menyebarkan agama atau “misi lain”. apalagi GIDI ini dibelakangnya adalah Israel. Tidak heran jika kita dengan mudahnya akan menemukan bendera Israel dan lambang-lambang Israel d Papua.

Inilah yang perlu menjadi perhatian pemerintah Indonesia dalam menyikapi intoleransi agama di Papua akibat lemahnya perlindungan terhadap minoritas muslim di sana. Padahal di wilayah lain di republik ini, minoritas agama lain justru aman tentram di bawah perlindungan muslim. (Oleh: dr. Poby Karmendra, Dokter PTT Kemenkes di Kab. Tolikara, 1 Juni 2013 s/d 31 Mei 2015)

GIDI adalah Gereja Israel Di Indonesia
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Tolikara, Abu Mawaqif Nur Wahid menyatakan bahwa Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) adalah gereja ‘Israel’ di Indonesia.

Hal itu Abu sampaikan dengan mengingat banyaknya fakta-fakta yang pernah ia lihat di wilayah pegunungan tengah Papua, baik itu berupa dinding-dinding kios dan rumah warga banyak yang bergambar biru-putih dengan logo bendera Israel, termasuk maraknya kaos bertuliskan Papua-Israel dan sebagainya di Papua.

“Saya bilang seperti itu karena, pertama, fakta terakhirnya begitu –dinding kios dan rumah warga dicat biru-putih denga logo bendera Israel. Kedua, banyak buktinya tetapi, sayang saya belum punya yang otentik maupun visual,” kata Abu kepada wartawan di kediamannya di Tolikara, belum lama ini.

Apa yang disampaikan Abu Muwafiq semakin menambah fakta baru, bila ‘hubungan’ GIDI dan Israel bukan hanya di Tolikara semata.

Abu juga membeberkan jika semua gembala-gembala atau klasis-klasis GIDI, itu pernah pergi ke Yerussalem dengan dibiayai oleh Pemerintah Daerah (Pemda) dari salah satu kabupaten pemekaran di Jayawijaya tersebut. “Itu sejak pejabat yang lama. Jadi, ada istilahnya itu poros Tolikara-Yerussalem,” imbuh Abu.

Sebelum tragedi Tolikara meletus, Abu menyampaikan bahwa ia pernah melihat seorang warga mengenakan kaos dengan tulisan ‘Papua-Israel’ di wilayah Tolikara.

Kaos tersebut, lanjutnya, tidak diperjual belikan karena hanya dipakai untuk gembala-gembala yang yang mau ke Yerussalem.

“Saya pernah lihat ada kaos bertuliskan ‘Papua-Israel’. Tetapi saya tidak dapat pakaiannya sebab tidak dijual untuk umum, hanya dipakai untuk gembala-gembala yang mau ke Yerussalem,” pungkas Abu.

Pembiaran Oleh Pemerintah

Menjangkitnya Islamofobia di Indonesia sebenarnya sudah sampai kabarnya ke seluruh pemimpin negara-negara di dunia. Ada yang senang, ada yang menyayangkan. Yang senang tentunya blok yang merasa diutungkan dengan merebaknya Islamofobia di Indonesia.

Mulai dari perlakuan yang tidak adil di hadapan hukum terkait dengan ‘terorisme’ yang hanya menyasar Islam, bacaan Al Quran versi Jawa, menghormati orang yang tidak berpuasa, dan lain sebagainya hingga kepada kejadian pelanggaran berat Hak Asasi Manusia dengan dibakarnya masjid di Tolikara dan merebaknya bendera Israel di Papua.


NEXT: Usut Tuntas Maraknya Atribut Israel Di Papua [Bagian kedua]

Satu tanggapan »

  1. Anto berkata:

    Pengibaran Bendera Palestine menurut saya ya sah sah aja, lagian sewaktu Indonesia mulai merdeka rakyat Palestina lah yang memulai mengucapkan selamat atas kemerdekaan Indonesia, dan gak ada dalam sejarah Zionis Israel mengucapkan selamat atas kemerdekaan Indonesia.

    Suka

  2. el Shadai berkata:

    Seharusnya Hukuman Penjara 4 tahun, berlaku untuk penggunaan bendera “Israel” di Tolikara

    Ada kepentingan apa Israel di kabupaten Tolikara? Harry Kurniawan, Sekjen SNH Advocacy Center, mengatakan bahwa segala bentuk penggunaan bendera dan lambang negara asing tanpa izin dan tanpa hak (baik pengibaran maupun pemasangan) merupakan tindakan pelanggaran hukum.
    MAU TANYA NIH : APAKAH HAL INI JUGA BERLAKU BAGI PENGIBAR BENDERA PALESTINA YA. MOHON DIJAWAB BAGI YANG TAU JAWABANNYA……..

    Suka

Tinggalkan Balasan ke Anto Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.