Terduga teroris asal Klaten meninggal saat diperiksa Densus 88
Siyono, seorang terduga teroris yang ditangkap Detasemen Khusus Anti-Teror 88 (Densus 88) di Desa Pogung, Cawas, Klaten, dilaporkan meninggal dunia saat penyidikan.
Pihak keluarga berencana mengajukan gugatan hukum atas kematian yang diduga tidak wajar itu, karena saat penangkapan pada Rabu, 9 Maret lalu, Siyono berada dalam keadaan sehat.
“Pihak keluarga meminta tim ISAC untuk menjadi kuasa hukum mereka, dan kami siap membantu melayangkan gugatan,” kata Sekretaris The Islamic Study and Action Center (ISAC) Endro Sudarsono, pada Sabtu malam, 12 Januari.
Informasi yang diterima ISAC, pada Sabtu siang, polisi datang ke rumah Siyono dan mengabarkan bahwa terduga teroris itu meninggal dunia di Kepolisian Daerah Yogyakarta dan jenazah sudah dibawa ke Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur.
Pihak keluarga telah menjemput jenazah untuk dimakamkan di Klaten, Sabtu malam.
ISAC juga mendesak Kapolri Jenderal Badrodin Haiti bertanggung jawab dan mengusut anggota Densus 88 yang terlibat dalam pemeriksaan yang berakibat terduga kehilangan nyawa.
“Jika kematian itu akibat penyiksaan, Kapolri harus memecat anggota Densus yang terlibat, atau akan lebih banyak lagi terduga teroris yang meninggal dalam pemeriksaan 7×24 jam,” kata Endro.
“Densus harus jujur dan sportif, apa penyebab kematian terduga teroris. Jika penyebab kematian karena penyiksaan, maka Kapolri harus memecat penyidik yang berbuat di luar kewenangannnya,” kata Endro.
Menurut ISAC, penyidik seharusnya memastikan lebih dulu sebelum interogasi apakah terduga sehat atau sedang sakit. Jika sakit, terduga berhak mendapatkan tindakan medis sebelum diperiksa lebih jauh.
“Densus pasti mempunyai SOP pemeriksaan dan anggotanya sudah terlatih. Semua tindakan seharusnya terukur,” kata Endro.
Hingga berita ini diturunkan, Rappler masih berusaha mengonfirmasi berita ini dari pihak Densus 88 dan Mabes Polri.
Kesaksian keluarga: Siyono masih sehat saat dibawa Densus 88
Siyono ditangkap 9 Maret 2016 dan meninggal dunia pada 11 Maret 2016.
Suasana rumah Marso Diyono (61 tahun) di Dusun Brengkungan, Desa Pogung, Cawas, Klaten, pada Minggu siang, 13 Maret, masih ramai orang. Para pelayat berdatangan silih berganti, memberikan ucapan belasungkawa atas meninggalnya Siyono (34 tahun), anak bungsu Marso.
Rumah sederhana yang sehari-hari digunakan untuk Taman Kanan-Kanak (TK) itu disekat menjadi dua bilik, untuk memisahkan tamu laki-laki dan tamu perempuan yang duduk lesehan di atas tikar plastik. Mereka umumnya tetangga desa, kerabat dari luar kota, dan teman-teman Siyono yang tidak sempat menghadiri pemakamannya pada Sabtu malam.
Wajah Marso masih sendu dan tampak kelelahan. Sejak anak bungsunya ditangkap Detasemen Khusus 88 Anti Teror, bapak tiga anak ini tak bisa istirahat karena melayani tamu, wartawan, dan polisi yang datang ke rumahnya.
Sebelumnya, ia lebih banyak bungkam dan berusaha menghindari awak pers dengan alasan takut salah bicara. Ia juga menolak banyak tamu yang tak dikenalnya, dengan cara mengungsi sementara di rumah anak sulungnya, Wagiyono.
“Saya ini orang bodoh, tidak ngerti apa-apa, bahkan anak saya ditangkap saya tidak tahu apa salahnya, saya minta maaf kalau anak saya punya salah,” kata Marso kepada Rappler, Minggu siang.
Ia kemudian mau bercerita. Rabu petang, 9 Maret, ia sedang menunaikan salat Maghrib bersama warga dusun di Masjid Muniroh yang terletak persis di samping rumahnya. Di sebelahnya, berdiri Siyono yang juga ikut salat.
Bapak dan anak ini jarang melewatkan salat berjamaah di masjid. Namun, Marso tidak mengira bahwa itu akan menjadi salat berjamaah terakhir bagi anaknya.
Usai salat, Marso keluar masjid lebih dulu seperti biasa. Ia menyaksikan di belakangnya tiga orang tak dikenal menunggu Siyono di luar pintu masjid, merangkulnya, lalu membawa masuk ke dalam mobil. Satu orang sebelumnya sudah masuk masjid, tetapi keluar lagi.
“Saya mau menegur tetapi ragu, karena saya pikir itu teman-teman Siyono yang mau mengajaknya pergi. Kelihatannya cara mengajaknya baik-baik,” kata Marso dengan mata berkaca-kaca mengingat anaknya.
Ia baru tahu bahwa anaknya ditangkap Densus saat ada perangkat desa dan polisi yang memberitahunya akan ada penggeledahan di rumahnya keesokan harinya, pada Kamis, 10 Maret. Kakinya lemas seketika, namun ia tak kuasa berbuat apa-apa.
Jantungnya nyaris copot ketika menerima kabar bahwa Siyono meninggal dunia saat diperiksa Densus dua hari lalu, Jumat, 11 Maret. Ia hampir tak percaya, karena anaknya dalam keadaan sehat saat penangkapan pada Rabu malam itu.
Pihak keluarga kemudian menjemput jenazah ke Rumah Sakit Polri Kramat Jati di Jakarta dan membawa pulang pada Sabtu malam menjelang dini hari. Jenazah Siyono langsung dimakamkan malam itu juga tanpa disemayamkan di rumah duka.
Namun, sebelum dimakamkan, Marso meminta agar kain kafan anaknya dari polisi dilepas dan diganti dengan kafan yang sudah disediakan keluarga. Alasannya, itu adalah pakaian terakhir anaknya untuk menghadap Allah, sehingga harus benar-benar suci dan jelas asal-usulnya.
Siyono dikenal sebagai anak yang baik, patuh pada orang tua, dan ramah kepada setiap teman dan tetangga. Ia juga dikenal sebagai orang yang sumeh (murah senyum).
“Dia itu anak yang baik, santun, tidak neko-neko (aneh-aneh). Teman-temannya banyak sekali, sampai saya tak kenal satu-satu,” kata Marso.
Di mata Marso, Siyono juga seorang bapak yang baik dan sayang anak. Kelima anaknya –yang paling besar kelas 1 SMP—sangat dekat dengan bapaknya.
Meskipun kehilangan anaknya, Marso berusaha untuk menerimanya. Ia berulang kali meminta maaf kepada semua orang seandainya Siyono memiliki kesalahan dalam hidupnya.
“Saya berdoa semoga anak saya syahid kalau ini kehendak Allah, mendapat tempat yang baik di alam sana,” ujar Marso.
Beberapa teman-teman di dusunnya yang sedang berkumpul di masjid siang itu juga bercerita kepada Rappler bahwa Siyono adalah sosok baik dan setia kawan. Ia juga anak yang enthengan (suka menolong) teman.
Siyono yang lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pertanian di Klaten itu pernah bekerja sebagai penjual buku-buku dan majalah Islam. Terakhir, ia juga berjualan secara online.
Sedangkan istrinya, Sri Muryani, mengelola TK Raudlatul Athfal Terpadu Amanah Ummah yang memiliki 60 siswa di rumah Marso. Sebenarnya, sekolah di bawah Yayasan Al Husna Klaten itu hanya menggunakan rumah Marso untuk sementara sampai gedung yang baru selesai dibangun.
Entah kebetulan atau tidak dengan kematian Siyono, pihak yayasan meliburkan anak-anak hingga 20 Maret, seperti yang tertulis di papan yang tertempel di depan rumah.
Kontras desak Polri usut tewasnya terduga teroris Siyono
Polri belum melakukan visum atau otopsi untuk membuktikan penyebab kematian korban hingga tanggal 16 Maret 2016.
Istri terduga teroris yang tewas saat diperiksa Densus 88 tolak tawaran damai
Ayah dan kakak Siyono sudah tandatangani surat damai, namun istrinya menolak.
Keluarga Siyono, terduga teroris yang meninggal saat pemeriksaan oleh Densus 88 dua pekan lalu, beberapa kali didatangi orang yang mengatasnamakan aparat setempat yang meminta agar keluarga bersedia menandatangani “surat damai” atas kasus kematian Siyono.
Kuasa hukum keluarga Siyono, Sri Kalono SH, menyebutkan isi surat itu antara lain meminta pihak keluarga untuk mengikhlaskan kematian Siyono, tidak akan menuntut secara hukum, dan tidak akan mengizinkan otopsi jenazah.
“Keluarga disodori surat damai. Ayah dan dua kakak Siyono akhirnya menandatangani, tetapi istri Siyono menolak. Ia ingin kasus kematian suaminya dibuka dulu untuk mencari keadilan,” kata Sri Kalono kepada Rappler, Kamis, 24 Maret.
“Karena merasa tertekan, terus didatangi dan disuruh tanda tangan, istri Siyono mengungsi ke rumah saudaranya ke luar kota. Katanya mau istikharah dulu,” ungkap Kalono.
Meski demikian, “surat damai” ini tidak akan menghentikan kasus hukum kematian Siyono, warga Desa Pogung, Cawas, Klaten, Jawa Tengah.
Menurut Kalono, yang berkuasa atas gugatan hukum adalah istri Siyono, Suratmi, bukan orangtua atau saudaranya. Selain itu, kalaupun keluarga akhirnya mengikhlaskan, proses hukum tetap akan jalan karena kasus ini bukan delik aduan.
Siyono dibawa paksa oleh Densus pada 8 Maret tanpa surat penangkapan, kemudian dipulangkan dalam kondisi meninggal penuh luka empat hari kemudian. Hingga kini, kepolisian belum melakukan otopsi terhadap jenazah yang sudah dikubur pada 13 Maret itu.
Kalono mengatakan sejak awal kedatangan jenazah sudah ada tekanan agar pihak keluarga tidak membuka dan mengganti kafan Siyono, melainkan langsung menguburnya.
“Saya sempat berdebat via telepon dengan Wagiyono (kakak Siyono, red) yang ikut dalam ambulans, rupanya ia ditekan agar jenazah segera dikubur tanpa perlu diganti kafan,” aku Kalono.
Namun, pihak keluarga tetap bersikeras untuk mengganti kafan disaksikan beberapa orang, termasuk tim pembela Muslim dari Islamic Study and Action Center (ISAC). Mereka mendapati jenazah penuh luka: kedua mata dan wajah lebam, kepala bagian belakang berdarah, kedua kaki lebam dan bengkak, telapak kaki kiri lebam, dan kuku jempol kaki kiri hampir copot.
Sementara itu, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Siane Indriani, mengatakan bahwa tim investigasi Komnas HAM sudah menyelesaikan penyelidikan dan menemui semua pihak yang terkait dengan kasus kematian Siyono. Kini tim sedang menyusun kronologi serta mencari kejanggalan dalam kasus tersebut.
Komnas HAM juga akan mencocokkan temuannya dengan pihak lain yang melakukan investigasi secara terpisah agar mendapatkan hasil yang lebih obyektif. Laporan investigasi itu kemudian akan disampaikan kepada Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan komisi hukum DPR RI terkait dengan kinerja Densus 88 yang diduga kerap melakukan pelanggaran HAM.
“Ini merupakan kasus yang ke-118, ketika seseorang yang masih berstatus terduga teroris mengalami penyiksaan dan berakhir dengan kematian,” kata Siane.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Busyro Muqqodas, saat dihubungi Rappler mengatakan bahwa Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat memutuskan ikut bekerja sama dengan Komnas HAM dalam investigasi kasus Siyono karena menganggap perilaku Densus 88 yang sudah melewati batas kemanusiaan dalam penangkapan dan interogasi terduga teroris.
Pembina Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) Yogyakarta dan pembela masyarakat madani (civil society) itu menilai bahwa penangkapan oleh Densus yang disertai kekerasan brutal atau penyiksaan tidak bisa dibiarkan terus.
Menurut mantan Ketua Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) itu, kasus kematian orang-orang — yang belum diputus pengadilan — oleh Densus sebagai pelanggaran HAM serius yang harus diselidiki.
“Kita tidak bisa hanya menyerahkan (investigasi) pada polisi. Masyarakat juga berhak melakukan investigasi sendiri,” kata Busyro.
KontraS desak Polri evaluasi kinerja Densus 88
Kinerja Densus 88 dinilai berbahaya pasca meninggalnya terduga teroris saat pemeriksaan.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meminta Kepolisian Republik Indonesia mengevaluasi dan memperbaiki cara kerja serta kualitas operasi detasemen khusus pemberantasan terorisme (Densus 88).
Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Divisi Advokasi Hak Sipil dan Politik KontraS, Putri Kanesia, serta Staf Divisi Advokasi Hak Sipil dan Politik KontraS, Satrio Abdillah Wirataru, dalam konferensi pers yang berlangsung di kantor KontraS, Jakarta Pusat, pada Sabtu siang, 26 Maret.
“Kami menemukan bahwa ada beberapa penangkapan yang mana di situ terlihat ada pola kesalahan-kesalahan Densus 88,” ujar Wira di hadapan awak media.
Investigasi yang dilakukan oleh KontraS menyusul adanya tindakan anggota Densus 88 yang menyebabkan hilangnya nyawa seorang terduga teroris asal Klaten, Jawa Tengah, bernama Marso Siyono pada 11 Maret lalu.
Sebelum kasus Siyono, Densus 88 juga pernah memperlihatkan perilaku serupa. Salah satunya, penangkapan dua orang berinisial AP dan NS di Solo pada 29 Desember 2015.
“Mereka ditaruh di sel, tidak ada BAP, tidak diberikan pula surat penangkapan atau alat administrasi lain yang menunjukan bahwa operasi Densus ini resmi atau legitimatesecara hukum,” kata Wira.
Menurut KontraS, dalam kasus tewasnya Siyono, Densus 88 melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang mereka buat sendiri. Tidak ada surat penangkapan maupun surat penggeledahan yang ditunjukkan saat penindakan.
Jika dilihat dari keadaan jenazah Siyono saat dibuka oleh pihak keluarga, ada indikasi penyiksaan yang terjadi.
“Hampir di seluruh tubuhnya ada memar. Ada luka memar di pipi, mata kanan lebam, patah tulang hidung, kondisi kaki dari paha hingga betis membengkak dan memar, salah satu kuku jari kaki hampir patah, dan keluar darah dari belakang kepala,” ungkap Wira.
KontraS menekankan bahwa pihaknya mendukung penuh upaya pemberantasan terorisme yang dilakukan Polri lewat Densus 88, namun harus sesuai hukum yang berlaku.
“Tapi pemberantasan terorisme tersebut tentu harus dibarengi dengan akuntabilitas Densus 88, apabila mereka melakukan pelanggaran atau kesalahan, sebaiknya ditindak,” tutur Wira.
Ada ‘Pasal Guantanamo’ di revisi UU Terorisme?
Dalam kesempatan yang sama, KontraS juga mengkritisi beberapa pasal dalam revisi Undang-Undang Terorisme yang sedang dibahas di DPR.
“Di RUU Terorisme yang baru ini, tidak ada satu pasal pun yang terkait jika Densus 88 melakukan salah tangkap atau ternyata ketika terduga itu salah, tidak ada mekanisme bagaimana kemudian ganti kerugian atas korban tersebut,” ujar Putri.
Tidak hanya itu, waktu penahanan terduga teroris juga diperpanjang.
“Ada salah satu pasal yang menyebutkan bahwa penyidik dan juga jaksa berhak melakukan penahanan maksimal 6 bulan,” ujar Putri.
“Waktu 6 bulan juga memungkinkan terjadinya penyiksaan, tidak dapat akses untuk mendapatkan bantuan hukum, tidak dapat bertemu keluarga, dan lain sebagainya.”
Menurut keterangan KontraS, hal tersebut menyalahi aturan KUHAP yang batas maksimal penahanan hanya 60 hari di penyidikan dan 50 hari oleh jaksa.
Selain itu, dalam RUU baru tersebut, orang tidak harus berstatus tersangka untuk dapat ditindak.
“Kami menyebutnya sebagai ‘Pasal Guantanamo’, orang dibawa, tidak jelas untuk apa, karena apa, lalu bisa berdampak apa juga tidak jelas,” ujar Wira.
[…] Ada SIYONO terbunuh secara zhalim, mereka tak peduli. […]
SukaSuka
[…] Terduga Teroris Meninggal Saat Diperiksa Densus 88 – Kasus Kematian Siyono […]
SukaSuka
[…] ^ Terduga Teroris Meninggal Saat Diperiksa Densus 88 – Kasus Kematian Siyono (1) […]
SukaSuka
[…] [Lagi!!!] Terduga Teroris Meninggal Saat Diperiksa Densus 88 […]
SukaSuka
[…] Terduga Teroris Meninggal Saat Diperiksa Densus 88 […]
SukaSuka
[…] Terduga Teroris Meninggal Saat Diperiksa Densus 88 […]
SukaSuka
[…] Terduga Teroris Meninggal Saat Diperiksa Densus 88 […]
SukaSuka
[…] Kembali ke artikel sebelumnya . . . […]
SukaSuka