Mengusut Kasus “Vaksin Palsu”

Screenshot_2016-06-24-03-44-12_1

Masyarakat kembali dihebohkan dengan adanya kasus vaksin palsu. Pemberitaan yang menyebar bahkan menyebutkan bahwa praktik vaksin palsu sebenarnya telah cukup lama beredar di tengah masyarakat. Hal ini tentu membuat para orangtua was-was. Dampak yang timbul dari vaksin palsu ini tidaklah main-main.

Fakta-Fakta mencengangkan terkait kasus vaksin palsu 2016

Screenshot_2016-06-24-03-48-08_1
1. Kematian bayi usai imunisasi merupakan awal terungkapnya kasus vaksin palsu

Terkuaknya kasus praktik peredaran vaksin palsu berawal dari informasi masyarakat dan pemberitaan di media massa mengenai adanya bayi yang meninggal dunia setelah diimunisasi. Berdasarkan informasi awal tersebut, penyidik Bareskrim kemudian mengumpulkan data-data dan fakta di lapangan untuk dijadikan bahan penyelidikan.

2. Vaksin palsu ternyata telah diproduksi sejak 2003 dan ditemukan di tiga provinsi

Dari operasi dan penyelidikan yang dilakukan oleh Bareskrim, diketahui bahwa sindikat pemalsuan vaksin ternyata telah memproduksi vaksin palsu sejak tahun 2003 dengan distribusi di seluruh Indonesia. Penyidik pun menemukan barang bukti vaksin palsu di tiga provinsi, yakni Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta.

Menurut Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Agung Setya, pelaku sindikat iniberjumlah 10 orang. Dari 10 orang itu, lima orang bertindak sebagai produsen, dua orang sebagai kurir, dua orang sebagai penjual, dan satu orang bertindak sebagai pencetak label vaksin palsu.

3. Pasutri pembuat vaksin palsu merupakan sosok yang religius dan santun bila dilihat dari luarnya

Warga di perumahan Kemang Regency, Bekasi Timur, Kota Bekasi, Jawa Barat, dibuat heboh dengan adanya penangkapan sepasang suami istri di perumahan elite tersebut. Hidayat Taufiqurahman dan Rita Agustina, pasangan suami istri itu diringkus oleh Tim Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri. Ia ditangkap lantaran terlibat sindikat pemalsu vaksin balita.

Banyak tetangga yang tidak menyangka kalau pasangan suami istri itu merupakan otak di balik pembuatan vaksin palsu selama ini. Warga pun mengenal keduanya sebagai sosok yang santun dan religius.

4. Isi kandungan dan cara pembuatan vaksin palsu

Dari penggeledahan dan pemeriksaan yang dilakukan kepolisian, diketahui para pelaku menggunakan cairan antitetanus yang dicampur dengan cairan infus sebagai bahan dasar vaksin palsu. Kedua cairan tersebut lantas dimasukan kedalam botol bekas.

Kemudian alat pengemasan juga dibuat semirip mungkin dan diberikan label palsu. Selain itu, vaksin tidak dibuat di laboratorium yang higienis, tetapi di sebuah gudang yang “disulap” menjadi tempat peracikan vaksin.

5. Gejala seseorang yang terinfeksi vaksin palsu

dr. Dirga Sakti Rambe, M.Sc-VPCD, vaksinolog, mengungkapkan berbagai gejala jika seseorang terinfeksi vaksin palsu. Ia mengatakan, infeksi dapat bersifat ringan dan dapat pula berat (sistemik). Infeksi berat ditandai dengan demam tinggi, laju nadi meningkat, laju pernapasan meningkat, leukosit meningkat, anak tak mau makan/minum, sampai terjadi penurunan kesadaran.

Kemudian menurut Dirga, jika terakhir kali vaksinasi pada dua minggu lalu dan tidak muncul gejala tersebut, kemungkinan besar anak tidak terkena infeksi.
Dirga mengatakan, dampak lainnya dari pembuatan vaksin palsu sebenarnya tergantung bahan apa yang digunakan.[1]

Negara Telah Lalai?

86-26-11.13.23

Awalnya adalah liputan media tentang kematian bayi setelah divaksinasi. Direktorat Ekonomi Khusus, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, berinisiatif menelisik apa yang terjadi di balik berita tersebut.

Pendalaman selama 3 bulan, membuahkan hasil gemilang. Polisi berhasil membongkar jaringan pemalsu vaksin (21/6/2016). Vaksin yang dipalsukan adalah vaksin dasar, yang wajib diberikan untuk bayi: campak, polio, hepatitis B, tetanus, dan BCG (Bacille Calmette-Guerin).

Sebanyak 10 orang ditangkap, dan sudah dijadikan tersangka. Peran para tersangka: 5 orang sebagai produsen, 2 orang kurir, 2 orang penjual atau distributor, dan seorang pencetak label.

Pabrik vaksin terletak di Perumahan Puri Bintaro Hijau, Kecamatan Pondok Aren, Tangerang Selatan. Di rumah yang tampak tidak steril itu ditemukan berbagai jenis obat-obatan, serta alat untuk membuat vaksin mulai dari botol ampul, bahan-bahan berupa larutan yang dibuat tersangka, dan labelnya.

Pelaku membuat vaksin dengan cara yang jauh dari ketentuan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) sesuai standar Badan POM, apalagi standar WHO. Mereka secara manualmengisi ampul dengan cairan buatan sendiri yang menyerupai vaksin aslinya.

Cairan buatan pelaku tersebut berupa antibiotik gentamicin dicampur dengan cairan infus. Lalu ampul tersebut ditempeli merek dan label.

Hebatnya, menurut pengakuan para tersangka, pemalsuan ini sudah berlangsung sejak 2003 dan didistribusikan ke seluruh Indonesia. Polisi baru menemukan keberadaan produk vaksin palsu ini di tiga provinsi, di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.

Keuntungan yang didapat dari pemalsuan ini cukup tinggi. Untuk produsen mendapat keuntungan Rp25 juta setiap minggu. Sementara penjual Rp20 juta per pekan.

Polisi tengah mengembangkan penyelidikan kasus ini, menyangkut dua hal. Pertama tentang jaringan pelaku, termasuk kemungkinan keterlibatan oknum di Kementerian Kesehatan. Yang kedua adalah korban, yaitu anak-anak yang mendapat vaksinasi dari vaksin palsu ini. Apa dampaknya, akan diselidiki lebih mendalam.

Untuk sementara, para pelaku akan dijeratPasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun dan denda Rp1,5 miliar dan Pasal 62 juncto Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM), cukup reaktif menanggapi temuan polisi ini. Lembaga ini mengaku kesulitan memberantas peredaran vaksin palsu. Badan POM menduga vaksin palsu beredar di puskesmas dan klinik di Jabodetabek. Lembaga ini juga memberikan tip, agar masyarakat tidak tertipu vaksin palsu.

Tip ini tentu absurd. Masyarakat, dalam soal vaksin, memang konsumen terakhir. Namun dia bukan pengambil keputusan dalam pembelian vaksin. Vaksin juga bukan obat bebas yang bisa dibeli masyarakat secara umum.

Masyarakat hanya ikut saran medis dari dokter atau pun petugas kesehatan yang hendak memberikan vaksinasi.

Pemalsuan vaksin ini sesungguhnya adalah tamparan keras bagi Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM). Vaksin yang dipalsukan kebanyakan adalah paket vaksin yang dipakai dalam imunisasi wajib.

Padahal, sesuai pasal 6 ayat 2 Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No.43/2013tentang Penyelenggaraan Imunisasi, penyelenggaraan imunisasi wajib, baik pengadaan vaksin, sampai distribusi, menjadi tanggung jawab pemerintah.

Pasal 13 ayat 1, menyebut Pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota bertanggung jawab dalam penyediaan logistik untuk penyelenggaraan imunisasi wajib.

Ayat 2, Logistik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi vaksin, Auto Disable Syringe, safety box, emergency kit, dan dokumen pencatatan status imunisasi.

Sedang Pasal 17 menjelaskan, Pemerintah bertanggung jawab tehadap pendistribusian logistik berupa vaksin, Auto Disable Syringe,safety box, dan dokumen pencatatan status imunisasi untuk penyelenggaraan imunisasi wajib.

Artinya, semestinya vaksin dasar bagi bayi sebelum umur satu tahun tersebut distribusinya tertutup, yaitu pemerintah (pusat dan daerah) bertanggung jawab terhadap pengadaan yaitu membeli dari perusahaan farmasi, lalu pemerintah pula yang mendistribusikannya.

Bahkan untuk vaksin yang digunakan program imunisasi, sesuai KMK No.1015/Menkes/SK/VI/2005 tentang Pedoman Umum Pengadaan Vaksin Program Imunisasi, lebih tertutup lagi. Pendistribusian vaksin dari industri farmasi sampai ke lapangan merupakan suatu skema rantai yang tidak boleh terputus sejak dari produsen sampai ke lapangan.

Bila semua aparat kementerian kesehatan menaati rantai distribusi tertutup sesuai ketentuan, sesungguhnya tak ada peluang masuknya vaksin palsu dalam jaringan layanan kesehatan pemerintah. Mulai dari rumah sakit sampai puskemas.

Badan POM pun lengah dalam pengawasan. Di Indonesia, hanya ada dua perusahaan farmasi yang memproduksi vaksin: PertamaBiofarma, BUMN pembuat vaksin terbesar di Asia Tenggara. Kedua, Sanofi, perusahaan farmasi swasta. Dua produk dari perusahaan tersebut sangat jelas jalur distribusinya.

Artinya bila sampai ada produk vaksin palsu sampai masuk ke jaringan pelayanan kesehatan yang dimiliki pemerintah, bisa diartikan pemerintah dan Badan POM telah lalai. Lalai melindungi warganya dari bahaya vaksin palsu, pun lalai mengawasi peredaran vaksin agar steril dari tangan jahil.[2]

Ditemukan di Tiga Provinsi

Screenshot_2016-06-26-23-24-11_1

Penyidik Subdirektorat Industri dan Perdagangan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri membongkar sindikat pemalsu vaksin untuk balita.

Dari operasi tersebut, diketahui bahwa sindikat tersebut telah memproduksi vaksin palsu sejak tahun 2003 dengan distribusi di seluruh Indonesia.

“Dari pengakuan para pelaku, vaksin palsu sudah menyebar ke seluruh Indonesia. Sejak kapannya, yaitu sejak 2003,” ujar Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Agung Setya di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (23/6/2016).

Hingga saat ini, penyidik baru menemukan barang bukti vaksin palsu di tiga daerah, yakni Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta.

Agung menjelaskan, pelaku berjumlah 10 orang. Dari 10 orang itu, lima orang bertindak sebagai produsen, dua orang sebagai kurir, dua orang sebagai penjual dan satu orang bertindak sebagai pencetak label vaksin palsu.

Kelompok penjual dan produsen masing-masing mendapat keuntungan paling besar dari praktik ilegal tersebut.

“Untuk produsen mendapat keuntungan Rp 25 juta per pekan. Sementara penjual Rp 20 juta per pekan,” ujar Agung.

Vaksin palsu itu dijual dengan harga miring. Hal inilah yang diduga menjadi alasan vaksin palsu tersebut cukup laku di pasaran.

Kini, penyidik tengah menyelidiki apakah ada oknum dari rumah sakit, puskesmas, atau klinik kesehatan yang turut terlibat dalam sindikat tersebut atau tidak.

Agung mengatakan, pengadaan vaksin di tempat pelayanan kesehatan mempunyai mekanisme sendiri yang diatur oleh BPPOM.

Agung menjelaskan, pelaku, khususnya kelompok produsen, kebanyakan merupakan lulusan sekolah apoteker.

Namun, mereka tidak menerapkan standar yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan dalam memproduksi vaksin itu.

Misalnya, cairan yang mereka gunakan sama sekali bukanlah cairan yang seharusnya menjadi bahan baku vaksin.

Dari penggeledahan dan pemeriksaan yang dilakukan kepolisian, diketahui para pelaku menggunakan cairan antitetanus dicampur dengan cairan infus sebagai bahan dasar vaksin palsu tersebut.

“Zat dasarnya dua itu. Cairan infus dan antitetanus. Dia campur, lalu dimasukkan ke dalam botol bekas. Untuk seperti sempurna, ada alat pengemasan dan diberikan label palsu juga. Setelah itu, baru didistribusikan,” ujar Agung.

Selain itu, vaksin tidak dibuat di laboratorium yang higienis, tetapi di sebuah gudang yang “disulap” menjadi tempat peracikan vaksin.

Agung memaparkan, terungkapnya sindikat pemalsu vaksin balita ini berawal dari ditemukannya fakta bahwa banyak anak yang kondisi kesehatannya terganggu setelah diberikan vaksin.

Selain itu, ada apula laporan pengiriman vaksin balita di beberapa puskesmas yang mencurigakan.

Penyidik kemudian menganalisis dan melakukan penyelidikan.

Pada 16 Mei 2016, penyidik menangkap pelaku bernama Juanda yang merupakan penjual vaksin palsu melalui dua toko obat miliknya, CV Azka Medical yang terletak di Jalan Raya Karang Santri Nomor 43 Bekasi, dan Bumi Sani Permai, Tambun, Bekasi.

Penyidik turut menggeledah rumah kontrakan milik pelaku yang terletak di Dewi House, Jalan Pahlawan Nomor 7, Tambun, Bekasi.

“Setelah digeledah dan diperiksa, diketahui toko obat yang dimiliki J ini tidak memiliki legalitas sekaligus tidak mengantongi izin pengedaran vaksin,” ujar Agung.

Penyidik menetapkan J sebagai tersangka dan mengenakan Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun dan denda Rp 1,5 milyar.

Penangkapan J mengarah ke pengembangan berikutnya.

Pada 21 Juni 2016, penyidik menggeledah enam titik. Keenam titik itu yakni Apotek Rakyat Ibnu Sina, sebuah rumah di Jalan Manunggal Sari, sebuah rumah di Jalan Lampiri Jatibening, sebuah rumah di Puri Hijau Bintaro, sebuah rumah di Jalan Serma Hasyim Bekasi Timur, dan Kemang Regency.

Di tiga lokasi, penyidik menangkap sembilan pelaku yang masing-masing terdiri dari lima orang sebagai produsen, dua orang sebagai kurir, satu orang sebagai pencetak label palsu, dan seorang lainnya merupakan penjual vaksin palsu.

Dua dari lima produsen berinisial R dan H adalah pasangan suami istri

Dalam seluruh penggeledahan, penyidik mengamankan barang bukti, yakni 195 saset hepatitis B, 221 botol vaksin polio, 55 vaksin antisnake, dan sejumlah dokumen penjualan vaksin. Kesembilan orang tersebut kini sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Mereka dijerat Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun dan denda Rp 1,5 miliar dan Pasal 62juncto Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti berpesan, penyidik harus mengusut perkara tersebut sampai tuntas.

Ia juga menekankan agar diusut dugaan keterlibatan oknum tempat pelayanan kesehatan untuk mengedarkan vaksin palsu tersebut.

“Kembangkan sampai ke jaringan-jaringannya sehingga semua itu bisa diungkap dan masyarakat tidak dirugikan,” ujar Badrodin.[3]

Tentang Pelaku

06-26-11.38.03

Rabu, 22 Juni 2016 malam, sepulang melaksanakan ibadah salat tarawih, warga di perumahan Kemang Regency, Bekasi TImur, Kota Bekasi, Jawa Barat, dibuat heboh dengan adanya penangkapan sepasang suami istri di perumahan elite tersebut.

Hidayat Taufiqurahman dan Rita Agustina, pasangan suami istri itu diringkus oleh Tim Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri. Ia ditangkap lantaran terlibat sindikat pemalsu vaksin balita.

Komandan Regu Satpam Perumahan Kemang Regency, Eko Supriyanto, menceritakan detik-detik penggerebekan, yang dilakukan sekitar pukul 21.00 WIB. Awalnya, polisi datang beriringan menggunakan empat mobil besar berwarna hitam. Di antara kendaraan itu mengangkut para pelaku lain, yang lebih dulu ditangkap.

“Permisi, pak, mohon ikut untuk kehadiran dan pengawalannya, pak,” ujar Eko, menirukan ucapan polisi yang berpakaian sipil menjelang penggerebekan, saat berbincang dengan Liputan6.com di Bekasi, Kamis, 23 Juni 2016.

“Lalu, saya tanya. Ada apa ya, pak?” kata Eko. “Sudah ikut saja, nanti kamu tahu sendiri kok,” ucap si polisi.

Namun, ada sebuah kejadian saat penggerebekan. Saat petugas hendak menggerebek rumah pasutri tersebut, rupanya polisi salah rumah.

“Kebetulan nama pelaku yang Rita sama dengan tetangganya itu. Udah gitu, kan saat penggerebekan polisi ikut ngebawapelaku lain, yang bekerja sebagai kurir,” kata Eko.

“Nah, kurirnya itu sempat salah tunjuk, nunjuknya ke rumah tetangga. Maklum, waktu itu juga sudah malam,” dia menambahkan. Namun, Kesalahpahaman itu tak berlangsung lama. Sebab, tetangga yang juga bernama Rita itu memaklumi kesalahan polisi.

“Enggak lama, si kurir (belakangan diketahui berinisial SH, sebagai kurir dan produsen) menunjuk rumah lain. Rumah kedua itu, ya rumah Bu Rita dan Pak Hidayat,” papar Eko.

Dalam penggerebekan itulah, polisi akhirnya menemukan ribuan botol obat yang diduga sebagai vaksin palsu. Tak hanya itu, penyidik juga mendapatkan sebuah alat pembuat kemasan.

Sempat Mengelak

Awalnya, kata Eko, Rita sempat mengelak dan melawan, jika dirinya dituduh memproduksi vaksin ilegal. “Katanya, bapak jangan macem-macem ya, bisa aja bapak yang taruh itu di gudang.”

“Terus enggak lama, polisinya bilang, ‘kita ini profesional, Bu. Kita masuk dengan tangan kosong, dan hanya membawa surat penangkapan ini’,” kata Eko, menirukan ucapan Rita.

Namun, Rita tak bisa berkilah lagi. Ia bungkam, saat petugas kembali menemukan ribuan botol vaksin palsu yang ia simpan dalam tempat ibadah dan kamar pribadinya.
06-26-11.40.00
“Barang bukti yang pertama ketemu itu di gudang. Bentuknya obat-obat cairan, yang berwarna putih. Kayak air infus. Setelah itu, petugas dapat lagi di dalam tempat ibadah dan kamar pribadinya. Nah, di situ udah dalam bal-balan kardus (siap edar),” Eko memaparkan.

Tak lama, Rita dan suaminya Hidayat langsung digelandang ke dalam mobil polisi. Mereka langsung diangkut ke Bareskrim Polri, guna keperluan penyelidikan. “Total ada 36 kardus. Satu kardus aja isinya bisa puluhan. Kan botol vaksinnya kecil-kecil. Nah, kalau alat presnya ada di dalam kamar,” ujar dia.

Hasil produksi vaksin palsu ini, Rita dan Hidayat diperkirakan mampu meraup puluhan juta rupiah dalam seminggu. Sebab, mereka mampu memproduksi ribuan botol vaksin ilegal di rumahnya.

Sejumlah alat produksi, seperti alat suntik, selang, hingga lebel merek obat, berikut mesin pres juga berhasil ditemukan di rumah mewah itu.

Sosok Religius

06-26-11.42.45
Eko mengatakan banyak tetangga yang tidak menyangka kalau pasangan suami istri itu merupakan otak di balik pembuatan vaksin palsu yang akhir-akhir ini ramai menjadi pembicaraan publik. Sebab, selama ini, warga mengenal keduanya sebagai sosok yang santun dan religius.

“Demi Allah, bang, orangnya baik banget, rajin ibadah. Suaminya itu rajin ibadah. Kita aja enggak nyangka bisa begitu,” ucap Eko.

Eko mengatakan, Rita dan Hidayat memang telah lama tinggal di kompleks elite tersebut. Hidayat pernah bekerja sebagai tenaga medis di pabrik otomotif kawasan MM2100, Cibitung, Kabupaten Bekasi. Sedangkan istrinya, Rita, adalah mantan bidan rumah sakit ternama di Bekasi.

06-26-11.43.05

“Kalau suaminya ngaku pernah kerja sebagai mantan pengawas. Terus disuruh berhenti dari kerjaannya sama istrinya. Katanya sih untuk buka bisnis aja. Kalau istrinya sempat jadi bidan. Kalau enggak salah dua tahun yang lalu,” kata dia.

Senada dengan Eko, Kristanto, tetangga yang tinggal tak jauh dari rumah itu mengaku mengenal pasangan Hidayat-Rita sebagai orang yang baik. “Suaminya ramah banget, ke mana-mana suka tegur sapa. Ia rajin pergi ibadah. Kalau istrinya, saya enggak terlalu kenal. Soalnya dia kan ibu rumah tangga, jadi jarang kelihatan,” tutur dia.

Berawal Dari Apotek

Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Agung Setya mengatakan penangkapan Hidayat dan Rita merupakan hasil pengembangan dari penggerebekan di sebuah apotek ternama berinisial ARIS di Kramatjati, Jakarta Timur, Selasa siang 21 Juni 2016.

“Dari penggerebekan di apotek, kami amankan pemilik apotek inisial MF dan seorang kurir berinisial TH alias ER,” Agung menambahkan.

Setelah itu, penyidik melakukan pengembangan ‎ke lokasi pembuatan vaksin di kawasan Puri Bintaro Hijau Pondok Aren, Tangerang.

Berdasarkan pengakuan pelaku AP, yang diketahui sebagai salah satu produsen, proses pembuatan vaksin bayi palsu tersebut dimulai dari pengumpulan botol bekas vaksin yang diisi dengan larutan yang dibuat sendiri oleh nya.

Kemudian, ditempeli label vaksin yang dibuat di sebuah percetakan di Kalideres, Jakarta Barat.

“Pemilik percetakan saat ini masih kami cari,” ucap Agung.

Ia menambahkan, sejumlah barang bukti sebagian telah disita oleh Bareskrim, di antaranya ‎307 vaksin campak kering, 11 vaksin BGC, tiga kemasan vaksin hepatitis B, 38 vaksin tetanus dan lainnya. Serta sejumlah alat penyulingan vaksin palsu seperti larutan kimia, botol infus, dan peralatan medis pendukung pembuatan vaksin bayi palsu.

“Kasus ini masih dalam pengembangan dan tidak menutup kemungkinan akan ada pelaku-pelaku lain yang tertangkap,” Agung menandaskan.

Agung pun mengungkapkan, dari bisnis haram itu, para pelaku  dalam transaksinya dapat menghasilkan omzet hingga Rp 17,5 juta per minggunya dari hasil pemalsuan vaksin ini.

Istana Bereaksi

Wakil Presiden Jusuf Kalla pun angkat bicara. Menurut pria yang akrab disapa JK ini, perbuatan kriminal tersebut tidak bisa dibiarkan. Sebab, sangat membahayakan kesehatan bayi. “Tentu ini sangat berbahaya. Berbahaya untuk kesehatan, apalagi untuk bayi kecil disuntikkan dengan vaksin palsu,” kata JK di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat, 24 Juni 2016.

06-26-11.35.33
JK yakin, jajaran kepolisian dibantu Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah bekerja maksimal, untuk menanggulangi peredaran vaksin palsu ini. Sehingga tidak lagi membahayakan masyarakat.

“Soal vaksin ini kan masalah kriminal. Saya kira polisi dan BPOM sudah melakukan tugas dengan baik,” JK memungkasi.

Sementara itu, Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Farid Moeloek, mengatakan pihaknya sangat menentang dan tidak mentolerir segala tindak pemalsuan yang membahayakan kesehatan masyarakat Indonesia.

“Kami sangat berterima kasih kepada Polri karena telah membongkar masalah ini. Kasus ini termasuk on-off lantaran pada 2013 juga telah dilaporkan,” kata Menkes di Gedung Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, Jumat, 24 Juni 2016.

Nila menjelaskan, baik BPOM maupun Kemenkes telah menjalankan tugasnya masing-masing. BPOM selalu menguji vaksin yang akan diedarkan dan Kemenkes memiliki program imunisasi nasional.

“Tugas Kemenkes memberikan imunisasi yang berguna mencegah penyakit di masyarakat. Vaksin yang digunakan dapat dimanfaatkan seluruh faskes baik pemerintah maupun swasta,” kata Menkes menambahkan.

Dampak Vaksin Palsu

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) sudah meminta BPOM untuk segera menguji isi kandungan yang ada di dalam vaksin palsu.

“Dicurigai vaksin palsu itu berisi cairan dan antibiotik, yang dampaknya tidak terlalu besar,” kata Nila Moeloek.

Yang justru ditakutkan dari vaksin palsu ini adalah dampak dari prosedur pembuatannya. “Steril atau tidaknya akan bereaksi ke kulit, sehingga terjadi infeksi,” kata Menkes.

Dokter Anak Arman Bakti Pulungan, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang hadir dalam kesempatan itu membenarkan omongan Menkes dan menambahkan bahwa efek samping setelah imunisasi tergantung jenis dan pemberiannya.

“Dampaknya itu tergantung dari jenis vaksinnya. Pemberian vaksin satu dan lainnya juga berbeda-beda. Misal BCG atau campak pemberiannya berbeda-beda. Ada yang di kulit dan ada pula yang di otot. Efek sampingnya memang berbeda-beda,” Arman menjelaskan dampak vaksin palsu.[4]

Jika Anak Terkena Vaksin Palsu

06-26-11.57.52

Mengutip Kompas.com, Menteri KesehatanNila F Moeloek mengatakan, anak yang mendapat vaksin palsu seharusnya kembali diimunisasi.

Sebab, mereka yang mendapat vaksin palsutentu tidak mendapat manfaat kebal terhadap suatu penyakit.

“Harus divaksin ulang. Kalau ini isinya hanya cairan, tentu tidak berfungsi sama sekali. Jadi, kita berikan ulang pada mereka,” kata Nila dalam jumpa pers di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Jumat (24/6/2016) lalu.

Hasil penyelidikan sementara, vaksin palsuberisi cairan dan antibiotik yang kadarnya sangat sedikit.

Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia dr Aman Pulungan, SpA mengungkapkan, kerugian terbesar jika mendapat vaksin palsu adalah tidak kebal.

“Misalnya divaksin palsu untuk hepatitis B, jadinya anak tidak kebal hepatitis B,” kata Aman.

Untuk itu, saat ini masih dilakukan pendataan di mana saja yang menggunakanvaksin palsu dan berapa anak yang mendapatkannya.

Jumlahnya diperkirakan tidak terlalu banyak, karena mayoritas pemberian vaksin berasal resmi dari pemerintah.

“Kita akan lakukan dari data yang ada. Kita lakukan catch up imunisasi apa saja yang ketinggalan.”

“Ketika ada terlambat imunisasi, kita harus kejar. Imunisasi kapan saja boleh dilakukan. Tidak ada kata hangus,” jelas Aman.

Sementara itu Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) memastikan vaksin yang dipakai IDAI berasal dari sumber yang benar.

Vaksin yang diberikan di fasilitas kesehatan, termasuk puskesmas dan rumah sakit, aman digunakan dan bisa diperoleh secara gratis.

Ketua Umum IDAI Aman Bhakti Pulungan menambahkan, munculnya kasus vaksin palsu bukan karena tak ada vaksin di lapangan. Vaksin dipalsukan untuk mendapat keuntungan ekonomi.

Jika warga curiga anak balitanya diberivaksin palsu, bisa melapor ke dokter anak terdekat agar diobservasi dampak akibat vaksin palsu itu.

Efeknya bergantung materi di vaksin palsuitu.

Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kemenkes Elizabeth Jane Soepardi mengatakan, belum ada laporan kejadian akibat vaksin palsu.

Anak balita yang diberi vaksin palsu akan diobservasi dan diberi vaksin yang benar agar terlindungi dari penyakit tertentu.

“Vaksin yang dipalsukan ialah imunisasi dasar wajib yang sebenarnya gratis dan diberikan di fasilitas kesehatan pemerintah.”

“Fasilitas kesehatan swasta mendapatkan vaksin gratis dari dinas kesehatan,” ujarnya.

Menindaklanjuti kasus vaksin palsu, BPOM memeriksa fasilitas kesehatan untuk menelusuri kemungkinan penggunaanvaksin palsu.

Sasaran utamanya, klinik swasta kecil yang belum bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.

“Kami sudah perintahkan kepada semua Balai Besar POM se-Indonesia,” ucap Pelaksana Tugas Kepala BPOM Tengku Bahdar Johan Hamid.

Dinas Kesehatan DKI Jakarta memastikan bahwa warga tak bisa bebas membeli vaksin.

“Warga tak bisa membeli vaksin secara bebas, tetapi dapat memperoleh vaksin lewat dinas kesehatan atau puskesmas,” kata Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedi Priharto.

Vaksin yang bisa diperoleh gratis di puskesmas adalah BCG, hepatitis B, pentavalen, DPT, polio, dan campak.

“Di puskesmas, masyarakat bisa mendapat vaksin itu secara gratis,” ujarnya.

Koesmedi mengimbau kalangan rumah sakit membeli vaksin ke distributor resmi atau ke dinkes.

“Waspadai jika sumber vaksin tak jelas, harga lebih murah, atau label cetakan lebih kasar atau tutup aluminium kemasan mencurigakan, atau tak mau memakai faktur resmi,” ujarnya.[5]

(Baca juga: Vaksinasi, Perlu Atau Tidak?)

Alasan Pelaku Menjual Vaksin Palsu

Rita Agustina produsen vaksin palsu yang diamankan polisi rupanya menjalankan bisnis haram itu demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Pasangan suami istri yang tinggal di Kemang Pratama Regency, Bekasi ini meraup untung besar dari penjualan vaksin palsu yang sudah dilakukan bertahun-tahun.

“Ini motifnya ekonomi dan uang hasil kejahatannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,” jelas Direktur Tipid Eksus Bareskrim Polri Brigjen Agung Setya.Agung juga menjelaskan akan memiskinkan seluruh tersangka dalam kasus jaringan vaksin bayi palsu.

Saat ini, jumlah tersangka yang sudah diamankan ada 15 dan masih memungkinkan ada penambahan tersangka yang terlibat di kejahatan ini.

Agung mengaku pihaknya akan memiskinkan seluruh tersangka dengan menetapkan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).”Selain dijerat dengan UU Kesehatan dan UU Perlindungan Konsumen, kami akan kenakan UU TPPU ke seluruh pelaku, khususnya ke para pembuat vaksin palsu,” tegas Agung.

Agung menambahkan pihaknya turut menjerat tersangka dengan UU TPPU lantaran seluruh tersangka rata-rata mendapatkan harta kekayaan yang mumpuni dari bisnis mereka.

“Mereka mendapatkan harta yang cukup besar dari hasil kejahatan ini. Saat ini kami dalam proses pengejaran aset dan selanjutnya penyitaan,” tambah Agung.[6]

Untuk diketahui, jumlah tersangka di kasus ini total ada 15 orang, dua tersangka yang ditangkap terakhir yakni T dan M, yang adalah distributor vaksin palsu di Semarang, Jawa Tengah.

Kemudian untuk 13 tersangka lainnya yakni tersangka S dan I merupakan pengepul botol bekas. Selain itu, tersangka SU dan SA berperan membuat dan mencetak label serta logo vaksin palsu.

Dan pembuat vaksin palsu ada R, G, S N. Sedangkan yang berperan sebagai distributor yakni T,D, F, J dan A. Ketiga belas tersangka itu diamankan di delapan lokasi berbeda dan kini ditahan di Bareskrim.[7]

13 Pelaku Lainnya

Bareskrim Polri mebongkar sindikat peredaran vaksin bayi palsu. Dari penggerebekan di pabrik yang sudah beroperasi sejak 2003 itu,   aparat mengamankan 13 orang pelaku.

Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus, Bareskrim Polri Kombes Agung Setya mengatakan, pelaku terbagi menjadi tiga kelompok, yakni produsen, distributor, dan kurir.

“Hari ini kami mengungkap pembuatan vaksin palsu yang ada di Jakarta, Banten (Tangerang), dan Jawa Barat (Bekasi dan Subang),” ujar Agung di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Kamis (23/6).

Agung mengungkapkan penyelidikan awal bermula saat temuan vaksin palsu di toko Azka Medical di Jalan Karang Satri, Bekasi pada Kamis (16/5). Dari lokasi itu penyidik berhasil mengamankan J selaku distributor vaksin palsu.

Lantas pada Selasa (21/6), penyidik melakukan penggerebekan di Apotek Rakyat Ibnu Sina di Kramat Jati, Jakarta Timur dengan tersangkanya MF.

Selanjutnya penyidik melakukan pengembangan ke pembuat vaksin palsu yang ditemukan di kawasan Puri Hijau Bintaro, Tangerang dengan tersangka P dan istrinya S.[8]

Setelah itu, penyidik mengamankan produsen vaksin palsu yang berada di Jalan Serma Hasyim Bekasi Timur denga tersangka HS. Selain itu di lokasi yang berbeda penyidik juga mengamankan pasangan suami istri berinisial R dan H yang memproduksi vaksin palsu di rumahnya di kawasan mewah Kemang Regency Bekasi.

“Kami juga melakukan pengembangan di Subang Jawa Barat, di Subang kita tangkap lagi ada tiga pelaku di sana ” ujarnya.

Agung menambahkan selain distributor  dan produsen, penyidik juga mengamankan kurir dan pihak pencetakan. Kurir yang membantu penjulan yakni T yang diamankan di Jalan Manunggal Sari dan S yang diamankan di Jalan Dilampiri Jati Bening.

“Satu orang pembuat packingnya, baik packing yang ada dalam botol maupun packing kardusnya,” ujar Agung.

Untuk para tersangka kata Agung terancam pasal 197 UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. Selanjutnya dikenakan Pasal 62 jo Pasal 8 UU no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.[9]

Empat Rumah Sakit dan Dua Apotek Pelanggan Jaringan Vaksin Palsu

Screenshot_2016-06-29-05-47-35_1

Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Agung Setya mengungkap, sebanyak empat rumah sakit diduga berlangganan vaksin palsu yang diproduksi tersangka pasangan suami istri Hidayat Taufiqurahman dan Rita Agustina.

Selain itu, dua apotek juga terbiasa menjual vaksin palsu ini. “Toko obat ada dua, kalau rumah sakitnya empat. Di Jakarta semua,” ujar Agung saat dihubungiKompas.com, Senin (27/6/2016).

Namun, Agung enggan mengungkap nama rumah sakit dan apotek tersebut karena dikhawatirkan mengganggu proses penyidikan. Ia pun tak bersedia mengungkap apakah rumah sakit dan apotek tersebut mengetahui bahwa vaksin yang mereka terima palsu.

Keterlibatan rumah sakit dan apotek pun masih dikembangkan. “Kami sedang dalami. Kan perlu pendalaman semuanya,” kata Agung.

Agung mengatakan, distribusi vaksin palsu tak hanya beredar di Jakarta. Hingga saat ini, diketahui vaksin palsu buatan Hidayat dan Rita juga merambah ke Jawa Barat, Banten, hingga Medan.

“Mereka kan punya tim distributor, jadi mereka yang salurkan,” kata dia.

Agung mengatakan, produsen vaksin palsu menyiapkan sendiri kemasannya, mulai dari botol, label, hingga kotak pengemasnya. Botol vaksin palsu menggunakan botol bekas vaksin yang diisi larutan buatan oleh tersangka. Label kemasan dicetak di percetakan di Kalideres, Jakarta Barat.

Kasus ini terungkap berawal dari fakta lapangan banyaknya anak yang kondisi kesehatannya terganggu usai diberi vaksin. Selain itu, ada pula laporan pengiriman vaksin balita di beberapa puskesmas yang mencurigakan.

“Dari fakta-fakta itu, kami analisis kemudian selidiki. Kami lalu menangkap penjual vaksin yang tidak punya izin,” ujar Agung.

Dari hasil penangkapan, diketahui ada tiga pabrik pembuat vaksin palsu, yakni di Bintaro, Bekasi Timur dan Kemang Regency.

Dari seluruh penggeledahan, penyidik mengamankan barang bukti, yakni 195 sachet hepatitis B, 221 botol vaksin polio, 55 vaksin anti-snake dan sejumlah dokumen penjualan vaksin.

Total, Bareskirm Polri menetapkan 10 orang sebagai tersangka. Mereka ditangkap di delapan tempat berbeda. Dua orang dari total tersangka yang diciduk adalah pasangan suami istri bernama Hidayat Taufiqurahman dan Rita Agustina. Mereka ditangkap Rabu (22/6/2016) pukul 21.00 WIB.

Sejoli ini memproduksi vaksin palsu di rumah mereka di Perumahan Kemang Pratama Regency, Jalan Kumala 2 M29, RT 09/05, Bekasi Timur, Kota Bekasi. 

Para tersangka dikenakan Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun dan denda Rp 1,5 miliar.[10]

Para Pelaku Pembuat Vaksin Palsu Hendaknya Dihukum Mati

Screenshot_2016-06-29-05-44-27_1

Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi berharap, para pelaku yang terlibat pembuatan dan penyebaran vaksin palsu dihukum berat.

Vaksin palsu, kata dia, mengancam masa depan dan kesejahteraan anak.

“Kita bandingkan saja dengan narkoba. Narkoba kan merusak kehidupan generasi muda. Saya rasa kalau narkoba bisa hukuman mati, kenapa ini (kasus vaksin palsu) tidak?” kata Seto di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (27/6/2016).

“Jadi mohon, jangan jadikan anak-anak bahan permainan, segala macam, sangat berbahaya,” sambung dia.

Upaya pengungkapan kasus vaksin palsu ini berawal dari temuan penyidik Subdirektorat Industri dan Perdagangan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri di tiga wilayah, yaitu Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta.

Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan, keberadaan vaksin palsu itu diketahui sudah mulai beredar sejak 2003 silam.

Saat ini, pihak aparat masih menggali informasi lebih jauh terhadap pelaku yang telah ditangkap.

Dalam penggeledahan beberapa waktu lalu, penyidik mengamankan barang bukti, yakni 195 saset hepatitis B, 221 botol vaksin polio, 55 vaksin anti-snake, dan sejumlah dokumen penjualan vaksin.

Sejauh ini, Bareskrim menetapkan 15 tersangka dalam kasus vaksin palsu. Dua di antaranya adalah pasangan suami istri bernama Hidayat Taufiqurahman dan Rita Agustina. Mereka ditangkap pada Rabu (22/6/2016) pukul 21.00 WIB.

Sejoli ini memproduksi vaksin palsu di rumah mereka di Perumahan Kemang Pratama Regency, Jalan Kumala 2 M29, RT 09 RW 05, Bekasi Timur, Kota Bekasi.

Semua tersangka dikenakan Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun dan denda Rp 1,5 miliar. Polisi juga menjerat mereka dengan UU Pencucian Uang.

Referensi

  • [1] brilio.net/serius/5-fakta-mencengangkan-kasus-vaksin-palsu-bikin-ngelus-dada-160626v.html
  • [2] beritagar.id/artikel/editorial/vaksin-palsu-beredar-negara-lalai
  • [3] nasional.kompas.com/read/2016/06/24/07465481/vaksin.palsu.diproduksi.sejak.2003.dan.ditemukan.di.tiga.provinsi
  • [4] liputan6.com/news/read/2539532/vaksin-palsu-yang-bikin-ngilu
  • [5] http://m.tribunnews.com/kesehatan/2016/06/26/curiga-anak-dapat-vaksin-palsu-ini-yang-harus-dilakukan-dan-berikut-ciri-ciri-vaksin-palsu
  • [6] tribunnews.com/nasional/2016/06/28/kata-polisi-ini-alasan-mengapa-pelaku-tega-menjual-vaksin-palsu
  • [7] tribunnews.com/nasional/2016/06/28/kata-polisi-ini-alasan-mengapa-pelaku-tega-menjual-vaksin-palsu?page=2
  • [8] jawapos.com/read/2016/06/23/35866/bongkar-sindikat-peredaran-vaksin-palsu-bareskrim-amankan-13-pelaku
  • [9] jawapos.com/read/2016/06/23/35866/bongkar-sindikat-peredaran-vaksin-palsu-bareskrim-amankan-13-pelaku/2
  • [10] nasional.kompas.com/read/2016/06/27/10085431/bareskrim.empat.rumah.sakit.dan.dua.apotek.pelanggan.jaringan.vaksin.palsu
  • [11] nasional.kompas.com/read/2016/06/27/16321231/kak.seto.berharap.para.pelaku.pembuat.vaksin.palsu.dihukum.mati

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.